Kebimbangan bagiku adalah warna kelabu yang tidak konsisten. Hingga hati ini ragu untuk memilih antara putih dan hitam, atau sekedar mamastikan aku telah berwarna putih, toh apa sulitnya, kata sisi terangku. Dan sisi gelapku tetap mempertimbangakan kepantasan memberikan alternative pilihan. Bukankan fungsi hati adalah untuk menetapkan dan fungsi akal untuk membedakan. Tapi akalku berfungsi hati dan hatiku berfungsi akal.
Dan kekawatiranku adalah saat kau pergi karena keputusanku yang salah, maka sisi gelapku akan meraung kesakitan dan terkapar dalam penderitaan cinta. Oh.. cintakah yang aku rasakan? Saat itu kata cinta begitu susah aku mengerti. Kenapa dia baru tiba disaat terakhir aku melajang? Haruskah seorang wanita menderita karena perlakuan cinta yang datang terlambat? Yang datang disaat aku mengakhiri kelajanganku? Kemana saja selama ini dewa cinta itu pergi? Hingga bertahun-tahun aku menunggumu dengan kepastian hampa. Bertahun lamanya harapan itu adalah kebodohanku, hingga akalku yang sehat menjadi konslet dengan harapan kelabu itu. Dan saat aku menyerah dengan keputusan takdirku, engkau datang dengan harapan nyata, dengan penuh argumentasi menjelaskan keberadaanmu yang tidak pasti.
Tapi.. itu semua percuma cinta. Karena kau datang terlambat, aku hampir menjadi seorang istri dari pemuda mapan bergelar dokter. Dan sebulan lagi pernikahan itu akan berlangsung. Aku menangis dalam suasana keramaian keluargaku yang sedang bersuka cita, menunggu hari pernikahanku dengan dokter Budi. Mungkin cintaku salah, tetapi takdirku berkata lain.
Baca lebih lanjut →